Tidak seperti agama-agama lain yang bersifat agresif dalam usahanya mendapatkan banyak pemeluk, agama Khonghucu lebih menekankan pada sikap membina diri sendiri (dan menghindari sikap menuntut orang lain). Karena itulah perkembangan agama Khonghucu (terutama perihal penyebaran ajaran maupun perkembangan jumlah penganutnya) agak sulit dilacak dengan pasti.
Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu ‘sumpah masuk agama’ misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit untuk dikenali karena ‘Kekhonghucuan’ mereka diukur dalam perbuatan dan tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut agama Khonghucu semasa hidupnya tidak ‘berani’ menyebut dirinya sebagai penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasi-generasi sesudahnya.
Perkembangan umat agama Khonghucu mulai disorot dan banyak ditelaah setelah masuknya agama Kristen ke Tiongkok yang dengan agresifnya mencari penganut baru dan mendesak penganut agama Khonghucu. Awalnya misionaris Kristen yang pertama kali masuk ke Tiongkok mengakui bahwa di Tiongkok telah ada agama ‘asli’ (yakni agama Khonghucu) yang lengkap dengan tata cara ibadah yang sangat jauh berbeda dengan agama kristen yang mereka anut.
Tapi karena tujuan utama para misionaris Kristen ini adalah mengkristenkan Tiongkok, maka dimulailah segala upaya termasuk menghalalkan segala cara untuk mengalahkan agama asli ini dan bila perlu ‘memusnahkan’ keberadaan mereka dengan jalan mendiskreditkan mereka sebagai ‘aliran filsafat’ belaka dan bukanlah ajaran agama.
Adapun alasan mengapa ajaran agama Khonghucu ini tidak dimusnahkan sama sekali adalah karena mereka tidak bisa mengingkari bahwa ada nilai-nilai universal dalam ajaran agama Khonghucu yang bahkan mengilhami banyak cendekiawan Eropa untuk mengadakan pembaharuan di Eropa sendiri. Bahkan Gereja Katolik Roma sampai secara resmi mengakui Kong Zi sebagai salah seorang Santo seakan Beliau pernah berjasa bagi agama Katolik.
Adanya upaya agresif kaum Kristen inilah yang mendorong ‘kebangkitan’ agama Khonghucu untuk menghadapinya (walaupun tidak sampai menghalalkan segala cara termasuk menipu, memfitnah dan sebagainya) sesuai dengan tradisi agama Khonghucu itu sendiri.
Kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok (yang ketiga) sebenarnya dimulai oleh Zeng Guofan dan berpuncak pada gerakan reformasi yang digagas oleh Kang Youwei. Tapi seiring dengan gagalnya Reformasi 100 hari itu, dapat dikatakan kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok mengalami kegagalan dan baru sedikit tergugah kembali (walaupun dalam skala kecil) dengan slogan-slogan yang diucapkan Deng Xiaoping pada akhir tahun 1970-an.
Sebaliknya kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia justru merupakan yang pertama kalinya dan sampai kini terus bergulat mencari jati dirinya. Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan diatas, ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif seperti halnya agama lain (terutama dari Timur Tengah). Ajaran agama Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya.
Karena alasan inilah agama Khonghucu yang ‘terbawa’ ke Indonesia sudah bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Dao. Seperti kata-kata Xun Zi, “Dalam hal penyajian makanan kepada orang yang sudah meninggal, seorang susilawan (penganut agama Khonghucu) menganggapnya sebagai perwujudan Laku Bakti dan penghalusan Kesusilaan seorang manusia, sebaliknya orang awam (masyarakat kebanyakan) menganggapnya berhubungan dengan roh-roh ataupun hal-hal takhayul lainnya.”
Orang-orang Tiongkok yang merantau hingga ke Indonesia mewakili banyak golongan. Semula mungkin hanya pedagang yang suka tantangan yang berani berlayar hingga ke Indonesia, tapi ada suatu masa dimana karena alasan politik, mereka kabur dari Tiongkok dan menyelamatkan diri ke Indonesia.
Ada sejarahwan yang mengatakan orang-orang jenis kedua ini biasanya balik ke Tiongkok setelah dirasa keadaan politik sudah berubah, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa semuanya berpikiran untuk kembali ? Tentulah ada diantara mereka yang mati di Indonesia, lelah berpolitik dan lalu menetap dengan tenang di Indonesia dan sebagainya.
Hingga abad ke 16, para Huaqiao Indonesia (Orang Tionghoa yang kemudian menetap di Indonesia) ini dapat hidup rukun berdampingan dengan orang pribumi dan dalam banyak kasus mereka telah berasimilasi dengan cara menikahi wanita setempat dan melahirkan Huaqiao peranakan (Huaqiao yang lahir di Indonesia). Justru dari sinilah muncul alkulturasi budaya dimana para Huaqiao peranakan ini selain diwarisi tradisi Tionghoa juga ditambahi dengan pelbagai tradisi setempat.
Dapat dikatakan para Huaqiao dan pribumi Indonesia hidup rukun hingga kedatangan bangsa Belanda yang kemudian menjajah Indonesia dan mulai menjalankan politik adu domba ‘Devide et Impera’ yang sangat keji dan tidak berperi kemanusiaan (bahkan sekalipun ditinjau dari sudut ajaran agama Kristen yang mereka anut).
Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu ‘sumpah masuk agama’ misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit untuk dikenali karena ‘Kekhonghucuan’ mereka diukur dalam perbuatan dan tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut agama Khonghucu semasa hidupnya tidak ‘berani’ menyebut dirinya sebagai penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasi-generasi sesudahnya.
Perkembangan umat agama Khonghucu mulai disorot dan banyak ditelaah setelah masuknya agama Kristen ke Tiongkok yang dengan agresifnya mencari penganut baru dan mendesak penganut agama Khonghucu. Awalnya misionaris Kristen yang pertama kali masuk ke Tiongkok mengakui bahwa di Tiongkok telah ada agama ‘asli’ (yakni agama Khonghucu) yang lengkap dengan tata cara ibadah yang sangat jauh berbeda dengan agama kristen yang mereka anut.
Tapi karena tujuan utama para misionaris Kristen ini adalah mengkristenkan Tiongkok, maka dimulailah segala upaya termasuk menghalalkan segala cara untuk mengalahkan agama asli ini dan bila perlu ‘memusnahkan’ keberadaan mereka dengan jalan mendiskreditkan mereka sebagai ‘aliran filsafat’ belaka dan bukanlah ajaran agama.
Adapun alasan mengapa ajaran agama Khonghucu ini tidak dimusnahkan sama sekali adalah karena mereka tidak bisa mengingkari bahwa ada nilai-nilai universal dalam ajaran agama Khonghucu yang bahkan mengilhami banyak cendekiawan Eropa untuk mengadakan pembaharuan di Eropa sendiri. Bahkan Gereja Katolik Roma sampai secara resmi mengakui Kong Zi sebagai salah seorang Santo seakan Beliau pernah berjasa bagi agama Katolik.
Adanya upaya agresif kaum Kristen inilah yang mendorong ‘kebangkitan’ agama Khonghucu untuk menghadapinya (walaupun tidak sampai menghalalkan segala cara termasuk menipu, memfitnah dan sebagainya) sesuai dengan tradisi agama Khonghucu itu sendiri.
Kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok (yang ketiga) sebenarnya dimulai oleh Zeng Guofan dan berpuncak pada gerakan reformasi yang digagas oleh Kang Youwei. Tapi seiring dengan gagalnya Reformasi 100 hari itu, dapat dikatakan kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok mengalami kegagalan dan baru sedikit tergugah kembali (walaupun dalam skala kecil) dengan slogan-slogan yang diucapkan Deng Xiaoping pada akhir tahun 1970-an.
Sebaliknya kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia justru merupakan yang pertama kalinya dan sampai kini terus bergulat mencari jati dirinya. Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan diatas, ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif seperti halnya agama lain (terutama dari Timur Tengah). Ajaran agama Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya.
Karena alasan inilah agama Khonghucu yang ‘terbawa’ ke Indonesia sudah bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Dao. Seperti kata-kata Xun Zi, “Dalam hal penyajian makanan kepada orang yang sudah meninggal, seorang susilawan (penganut agama Khonghucu) menganggapnya sebagai perwujudan Laku Bakti dan penghalusan Kesusilaan seorang manusia, sebaliknya orang awam (masyarakat kebanyakan) menganggapnya berhubungan dengan roh-roh ataupun hal-hal takhayul lainnya.”
Orang-orang Tiongkok yang merantau hingga ke Indonesia mewakili banyak golongan. Semula mungkin hanya pedagang yang suka tantangan yang berani berlayar hingga ke Indonesia, tapi ada suatu masa dimana karena alasan politik, mereka kabur dari Tiongkok dan menyelamatkan diri ke Indonesia.
Ada sejarahwan yang mengatakan orang-orang jenis kedua ini biasanya balik ke Tiongkok setelah dirasa keadaan politik sudah berubah, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa semuanya berpikiran untuk kembali ? Tentulah ada diantara mereka yang mati di Indonesia, lelah berpolitik dan lalu menetap dengan tenang di Indonesia dan sebagainya.
Hingga abad ke 16, para Huaqiao Indonesia (Orang Tionghoa yang kemudian menetap di Indonesia) ini dapat hidup rukun berdampingan dengan orang pribumi dan dalam banyak kasus mereka telah berasimilasi dengan cara menikahi wanita setempat dan melahirkan Huaqiao peranakan (Huaqiao yang lahir di Indonesia). Justru dari sinilah muncul alkulturasi budaya dimana para Huaqiao peranakan ini selain diwarisi tradisi Tionghoa juga ditambahi dengan pelbagai tradisi setempat.
Dapat dikatakan para Huaqiao dan pribumi Indonesia hidup rukun hingga kedatangan bangsa Belanda yang kemudian menjajah Indonesia dan mulai menjalankan politik adu domba ‘Devide et Impera’ yang sangat keji dan tidak berperi kemanusiaan (bahkan sekalipun ditinjau dari sudut ajaran agama Kristen yang mereka anut).
Bangkitnya Kesadaran
Ada yang mengatakan bahwa gerakan Kebangkitan Agama Khonghucu di Indonesia dipicu oleh gerakan serupa di Tiongkok yang dimotori oleh Kang Youwei. Tapi sebenarnya tidak demikian. Perhatikan kurun waktu yang hampir sama sehingga hampir mustahil kesadaran kaum Khonghucu di Indonesia didorong oleh Kang Youwei. Kang Youwei baru termasyhur namanya karena dipercaya kaisar Guang Xu menjalankan Reformasi Seratus Hari pada tahun 1898, sebaliknya benih-benih kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia sudah ada sebelum tahun itu.
Seperti disebutkan diatas, bangkitnya agama Khonghucu (termasuk di Indonesia) terutama adalah karena gerakan misionaris agama Kristen yang semakin agresif dan destruktif.
Pemerintah Kolonialis Belanda bahkan secara sengaja dan aktif ikut serta dalam hal ini seperti terlihat dalam gerakan ‘kristenisasi’ para Huaqiao. Tekanan terhadap para Huaqiao (yang kebanyakan beragama Khonghucu, Buddha atau Dao) yang tidak mau berpindah agama dan memeluk agama Kristen adalah berupa pembedaan golongan-golongan rakyat yang ditetapkan dalam pasal 6-10 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving pada tahun 1848. Peraturan tersebut membedakan rakyat Hindia Belanda ke dalam dua golongan yaitu Eropa dan Bumiputera. Untuk menentukan golongan tersebut, agama digunakan sebagai ukuran. Mereka yang beragama Kristen dimasukkan ke dalam golongan Eropa, termasuk orang Indonesia yang beragama Kristen dimasukkan dalam golongan yang ‘dipersamakan’ dengan orang Eropa, dan semua orang yang tidak beragama Kristen ‘dipersamakan’ dengan orang Bumiputera (yang beragama Islam).
Walaupun tahun 1854, Pemerintah Belanda mengeluarkan “Regerings Reglement”, yang dalam pasal 109 agama tidak lagi menjadi ukuran. Tapi mereka tetap menjalankan politik adu domba antara para Huaqiao dan kaum pribumi.
Selain dijadikan sapi perahan (di bidang ekonomi), para Huaqiao juga dijadikan kambing hitam kemarahan pribumi Indonesia. Pemerintah Belanda sengaja mengeluarkan aturan baru dimana para Huaqiao dikelompokkan menjadi ‘masyarakat kelas 2’ sedang pribumi sebagai ‘masyarakat kelas 3’. Namanya saja ‘kelas 2’ padahal sesungguhnya mereka jauh lebih rendah daripada ‘kelas 3’. Kaum pribumi masih boleh memiliki tanah, tapi para Huaqiao tidak. Dalam segala urusan pengadilan, kaum pribumi selalu dimenangkan atas kaum Huaqiao. Inilah politik untuk ‘menenangkan’ hati kaum pribumi sehingga mereka tidak sadar negaranya telah dijajah tapi masih merasa ‘sedikit terhibur’ karena bisa ‘mengalahkan’ atau ‘melampiaskan semua kemarahan dan kebencian’ kepada si kambing hitam yang dijuluki ‘masyarakat kelas 2’ ini.
Imbas politik adu domba ini bahkan masih terus dilakukan oleh pemerintahan rezim Orde Baru dan para Huaqiao masih sering dijadikan kambing hitam setiap kali pemerintah Orba gagal untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan ketika Suharto dipaksa mundur karena tidak bisa mengendalikan keruntuhan ekonomi, ada konspirasi jahat untuk mengkambinghitamkan para Huaqiao Indonesia hingga terjadi Tragedi Kemanusiaan tanggal 13-14 Mei 1998.
Pada kenyataannya, untuk kaum pribumi masih ada sekolah-sekolah sedangkan kaum Huaqiao sengaja dibodohkan dan dipersulit hingga tidak bisa bersekolah sama sekali (kecuali beberapa gelintir orang yang ‘beruntung’ memperoleh pendidikan karena orangtuanya dipekerjakan sebagai letnan/kapten Cina untuk kepentingan Belanda).
Ada yang mengatakan bahwa gerakan Kebangkitan Agama Khonghucu di Indonesia dipicu oleh gerakan serupa di Tiongkok yang dimotori oleh Kang Youwei. Tapi sebenarnya tidak demikian. Perhatikan kurun waktu yang hampir sama sehingga hampir mustahil kesadaran kaum Khonghucu di Indonesia didorong oleh Kang Youwei. Kang Youwei baru termasyhur namanya karena dipercaya kaisar Guang Xu menjalankan Reformasi Seratus Hari pada tahun 1898, sebaliknya benih-benih kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia sudah ada sebelum tahun itu.
Seperti disebutkan diatas, bangkitnya agama Khonghucu (termasuk di Indonesia) terutama adalah karena gerakan misionaris agama Kristen yang semakin agresif dan destruktif.
Pemerintah Kolonialis Belanda bahkan secara sengaja dan aktif ikut serta dalam hal ini seperti terlihat dalam gerakan ‘kristenisasi’ para Huaqiao. Tekanan terhadap para Huaqiao (yang kebanyakan beragama Khonghucu, Buddha atau Dao) yang tidak mau berpindah agama dan memeluk agama Kristen adalah berupa pembedaan golongan-golongan rakyat yang ditetapkan dalam pasal 6-10 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving pada tahun 1848. Peraturan tersebut membedakan rakyat Hindia Belanda ke dalam dua golongan yaitu Eropa dan Bumiputera. Untuk menentukan golongan tersebut, agama digunakan sebagai ukuran. Mereka yang beragama Kristen dimasukkan ke dalam golongan Eropa, termasuk orang Indonesia yang beragama Kristen dimasukkan dalam golongan yang ‘dipersamakan’ dengan orang Eropa, dan semua orang yang tidak beragama Kristen ‘dipersamakan’ dengan orang Bumiputera (yang beragama Islam).
Walaupun tahun 1854, Pemerintah Belanda mengeluarkan “Regerings Reglement”, yang dalam pasal 109 agama tidak lagi menjadi ukuran. Tapi mereka tetap menjalankan politik adu domba antara para Huaqiao dan kaum pribumi.
Selain dijadikan sapi perahan (di bidang ekonomi), para Huaqiao juga dijadikan kambing hitam kemarahan pribumi Indonesia. Pemerintah Belanda sengaja mengeluarkan aturan baru dimana para Huaqiao dikelompokkan menjadi ‘masyarakat kelas 2’ sedang pribumi sebagai ‘masyarakat kelas 3’. Namanya saja ‘kelas 2’ padahal sesungguhnya mereka jauh lebih rendah daripada ‘kelas 3’. Kaum pribumi masih boleh memiliki tanah, tapi para Huaqiao tidak. Dalam segala urusan pengadilan, kaum pribumi selalu dimenangkan atas kaum Huaqiao. Inilah politik untuk ‘menenangkan’ hati kaum pribumi sehingga mereka tidak sadar negaranya telah dijajah tapi masih merasa ‘sedikit terhibur’ karena bisa ‘mengalahkan’ atau ‘melampiaskan semua kemarahan dan kebencian’ kepada si kambing hitam yang dijuluki ‘masyarakat kelas 2’ ini.
Imbas politik adu domba ini bahkan masih terus dilakukan oleh pemerintahan rezim Orde Baru dan para Huaqiao masih sering dijadikan kambing hitam setiap kali pemerintah Orba gagal untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan ketika Suharto dipaksa mundur karena tidak bisa mengendalikan keruntuhan ekonomi, ada konspirasi jahat untuk mengkambinghitamkan para Huaqiao Indonesia hingga terjadi Tragedi Kemanusiaan tanggal 13-14 Mei 1998.
Pada kenyataannya, untuk kaum pribumi masih ada sekolah-sekolah sedangkan kaum Huaqiao sengaja dibodohkan dan dipersulit hingga tidak bisa bersekolah sama sekali (kecuali beberapa gelintir orang yang ‘beruntung’ memperoleh pendidikan karena orangtuanya dipekerjakan sebagai letnan/kapten Cina untuk kepentingan Belanda).
Tidak berhenti sampai disini, politik adu domba ini makin keras menekan para Huaqiao dengan diberlakukannya peraturan wijkenstelsel yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juni 1866. Dalam peraturan tersebut antara lain disebutkan, pejabat setempat memerintahkan untuk menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah penempatan orang-orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya yang mudah diawasi. Penempatan tersebut merupakan keharusan dan mereka yang akan tinggal di luar wilayah yang sudah ditentukan harus mendapat izin dari pejabat Hindia Belanda setempat. Bagi golongan penduduk Timur Asing yang melakukan pelanggaran dan tetap tinggal di luar wilayah yang ditentukan akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar f25-f100 dengan diberi batas waktu tinggal. Apabila batas waktu tinggal tersebut telah habis maka mereka harus masuk dalam wilayah yang telah ditentukan, kalau perlu dengan paksaan.
Strategi pengkotakan tersebut menyebabkan mengelompoknya orang-orang Tionghoa pada satu tempat dan memisahkan mereka dari penduduk asli maupun etnis asing yang lain. Tujuan dikeluarkannya peraturan itu adalah untuk mengisolir bangsa pendatang agar tidak dapat langsung berbaur dengan penduduk asli yang dikhawatirkan akan bersatu dan mengancam kedudukan Belanda. Selain itu, dengan memusatnya pemukiman orang-orang Tionghoa akan memudahkan dalam pengawasan terhadap kegiatan mereka.
Sistem ini dipaksakan berlaku oleh pemerintah Belanda dan para Huaqiao tidak punya kekuatan untuk melawannya. Tapi selalu dikatakan bahwa para Huaqiao senantiasa bersifat eksklusif dan tidak mau bergaul dengan kaum pribumi sehingga menimbulkan kebencian semakin dalam di pihak pribumi terhadap si ‘kambing hitam’ Huaqiao ini.
Mungkin pada masa itu, kaum pribumi yang dijajah kaum kolonialis ‘masih cukup naif’ untuk dibodohi oleh politik adu domba ini, tapi nyatanya setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan bisa mengatur negerinya sendiri serta berkuasa membuat segala macam peraturan dan undang-undang, tapi rezim Orba masih saja sering mendengung-dengungkan stigma eksklusif ini untuk menutupi ketidakmampuannya untuk mensejahterakan rakyatnya.
Selain peraturan wijkenstelsel, pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan pas-senstelsel yang berlaku sejak tahun 1816 yang mengharuskan bagi orang-orang Tionghoa me-mbawa kartu pas jalan untuk mengadakan perjalanan ke luar daerah. Peraturan pas ini sangat membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa, karena mereka tidak bebas pergi ke luar daerahnya untuk melakukan aktivitas perdagangan dan hanya beraktivitas di daerah Pecinan saja.
Strategi pengkotakan tersebut menyebabkan mengelompoknya orang-orang Tionghoa pada satu tempat dan memisahkan mereka dari penduduk asli maupun etnis asing yang lain. Tujuan dikeluarkannya peraturan itu adalah untuk mengisolir bangsa pendatang agar tidak dapat langsung berbaur dengan penduduk asli yang dikhawatirkan akan bersatu dan mengancam kedudukan Belanda. Selain itu, dengan memusatnya pemukiman orang-orang Tionghoa akan memudahkan dalam pengawasan terhadap kegiatan mereka.
Sistem ini dipaksakan berlaku oleh pemerintah Belanda dan para Huaqiao tidak punya kekuatan untuk melawannya. Tapi selalu dikatakan bahwa para Huaqiao senantiasa bersifat eksklusif dan tidak mau bergaul dengan kaum pribumi sehingga menimbulkan kebencian semakin dalam di pihak pribumi terhadap si ‘kambing hitam’ Huaqiao ini.
Mungkin pada masa itu, kaum pribumi yang dijajah kaum kolonialis ‘masih cukup naif’ untuk dibodohi oleh politik adu domba ini, tapi nyatanya setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan bisa mengatur negerinya sendiri serta berkuasa membuat segala macam peraturan dan undang-undang, tapi rezim Orba masih saja sering mendengung-dengungkan stigma eksklusif ini untuk menutupi ketidakmampuannya untuk mensejahterakan rakyatnya.
Selain peraturan wijkenstelsel, pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan pas-senstelsel yang berlaku sejak tahun 1816 yang mengharuskan bagi orang-orang Tionghoa me-mbawa kartu pas jalan untuk mengadakan perjalanan ke luar daerah. Peraturan pas ini sangat membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa, karena mereka tidak bebas pergi ke luar daerahnya untuk melakukan aktivitas perdagangan dan hanya beraktivitas di daerah Pecinan saja.
Seperti halnya sebuah kandang yang dihuni hewan ternak dalam jumlah sangat banyak (jauh melebihi kapasitas kandang itu), bisa dikatakan daerah ‘pecinan’ itu bukanlah habitat hidup yang sehat bagi para Huaqiao. Dalam keadaan seperti itu, moral generasi muda Huaqiao menjadi semakin rendah hingga terjerumus dalam keadaan sesama Huaqiao saling menekan Huaqiao sendiri. Premanisme terjadi dalam lingkungan ‘Pecinan’ yang sudah bobrok dan penuh sesak (Bagaimana mungkin preman Huaqiao ‘berani’ mengacau di luar wilayah pecinan, selain karena sulit untuk keluar, mereka juga akan selalu dikalahkan dalam urusan pengadilan melawan pribumi).
Seperti pepatah menyebutkan : “Sesuatu yang sudah mencapai puncak akan segera membalik’. Kaum pribumi karena ‘lebih dimanja’ dan dibuai oleh ‘kemenangan palsu’ tidak mengalami titik ekstrem sehingga keinginan untuk membalikkan keadaan belum muncul seperti halnya kaum Huaqiao yang sudah semakin tersudut.
Dalam keadaan serba terdesak seperti itulah benih-benih kebangkitan agama Khonghucu mulai ditaburkan. Pada tahun 1897 (setahun sebelum Kang Youwei terkenal), Lie Kim Hok memulai penerbitan sebuah buku mengenai kehidupan Nabi Kong Zi. Buku tersebut berbahasa Melayu dan menggunakan sumber-sumber dari Eropa ! (bukan dari Tiongkok)
Lie Kim Hok (1853 – 1912) ini adalah Huaqiao-Indonesia yang sempat menikmati pendidikan di sekolah zending yang misi utamanya adalah ‘mengkristenkan’ rakyat Hindia Belanda. Lie Kim Hok termasuk murid yang pandai dan mempunyai hubungan yang dekat dengan para gurunya seperti zendeling C. Albers dan D.J. van der Linden. Lie Kim Hok bahkan pernah bekerja pada percetakan Zending yang khusus menerbitkan buku-buku Kristen. Tapi Lie Kim Hok tidak pernah menjadi Kristen dan bahkan kelak menjadi pembela Agama Khonghucu yang pertama-tama dari serangan agama Kristen.
Setahun kemudian, gerakan reformasi Kang Youwei di Tiongkok makin menyuburkan dan mempercepat kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia. Walaupun nasib ‘Reformasi 100 hari’ sangat singkat dan ‘disabotase’ oleh Janda Ci Xi yang lalim, tapi bangkitnya agama Khonghucu sudah tidak terbendung lagi.
Beberapa Huaqiao di Batavia yang cukup terpelajar dan berpandangan luas mulai memikirkan perlunya perubahan yang mesti dilakukan terhadap kalangan Huaqiao sendiri. Pada awal tahun 1900, Sukabumische Snelpers Drukkerij di Sukabumi telah menerbitkan terjemahan bahasa Melayu dari kitab ‘Thai Hak’ (Ajaran Besar) dan ‘Tiong Yong’ (Tengah Sempurna) yang dikerjakan oleh Tan Ging Tiong dengan dibantu oleh Yoe Tjai Siang.
Dalam kata pengantar tertanggal 24 Februari 1900 yang terdapat dalam kedua kitab terjemahan itu, Tan Ging Tiong menulis sebagai berikut : ‘Pada tanggal 24 Desember 1899 kami telah menemui tuan Liem Boen Keng di Singapura. Dalam pertemuan itu, tuan Liem Boen Keng yang telah mendirikan Khong Kauw Hwe (Perhimpunan Agama Khonghucu) di Singapura dan Malaka mengatakan bahwa hingga kini belum ada seorangpun yang sanggup menerjemahkan kitab ‘Thai Hak’ dan ‘Tiong Yong’ ke dalam bahasa Melayu dengan sempurna. Karena itu ia mengharap jika terjemahan kami sudah selesai dicetak, dia berharap agar dia dikirimi satu untuk diperiksa oleh perkumpulan Khong Kauw Hwe yang didirikannya.’
Tuan Yoe Tjai Siang yang membantu Tan Ging Tiong, dalam kata pengantar yang tertanggal 15 Januari 1900 menganjurkan agar para Huaqiao di Jawa juga mendirikan satu perkumpulan yang bertujuan mempelajari agama Khonghucu. Anjuran ini dapat dilihat dalam catatannya sebagai berikut : ‘ … Maka untuk dapat memperdalam agama Khonghucu sebaiknya didirikan sebuah organisasi lengkap dengan para pengurusnya. Semua orang yang ingin bergabung dalam organisasi ini harus dipandang sebagai orang yang sungguh-sungguh mempunyai keinginan untuk belajar.’
Dalam keadaan serba terdesak seperti itulah benih-benih kebangkitan agama Khonghucu mulai ditaburkan. Pada tahun 1897 (setahun sebelum Kang Youwei terkenal), Lie Kim Hok memulai penerbitan sebuah buku mengenai kehidupan Nabi Kong Zi. Buku tersebut berbahasa Melayu dan menggunakan sumber-sumber dari Eropa ! (bukan dari Tiongkok)
Lie Kim Hok (1853 – 1912) ini adalah Huaqiao-Indonesia yang sempat menikmati pendidikan di sekolah zending yang misi utamanya adalah ‘mengkristenkan’ rakyat Hindia Belanda. Lie Kim Hok termasuk murid yang pandai dan mempunyai hubungan yang dekat dengan para gurunya seperti zendeling C. Albers dan D.J. van der Linden. Lie Kim Hok bahkan pernah bekerja pada percetakan Zending yang khusus menerbitkan buku-buku Kristen. Tapi Lie Kim Hok tidak pernah menjadi Kristen dan bahkan kelak menjadi pembela Agama Khonghucu yang pertama-tama dari serangan agama Kristen.
Setahun kemudian, gerakan reformasi Kang Youwei di Tiongkok makin menyuburkan dan mempercepat kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia. Walaupun nasib ‘Reformasi 100 hari’ sangat singkat dan ‘disabotase’ oleh Janda Ci Xi yang lalim, tapi bangkitnya agama Khonghucu sudah tidak terbendung lagi.
Beberapa Huaqiao di Batavia yang cukup terpelajar dan berpandangan luas mulai memikirkan perlunya perubahan yang mesti dilakukan terhadap kalangan Huaqiao sendiri. Pada awal tahun 1900, Sukabumische Snelpers Drukkerij di Sukabumi telah menerbitkan terjemahan bahasa Melayu dari kitab ‘Thai Hak’ (Ajaran Besar) dan ‘Tiong Yong’ (Tengah Sempurna) yang dikerjakan oleh Tan Ging Tiong dengan dibantu oleh Yoe Tjai Siang.
Dalam kata pengantar tertanggal 24 Februari 1900 yang terdapat dalam kedua kitab terjemahan itu, Tan Ging Tiong menulis sebagai berikut : ‘Pada tanggal 24 Desember 1899 kami telah menemui tuan Liem Boen Keng di Singapura. Dalam pertemuan itu, tuan Liem Boen Keng yang telah mendirikan Khong Kauw Hwe (Perhimpunan Agama Khonghucu) di Singapura dan Malaka mengatakan bahwa hingga kini belum ada seorangpun yang sanggup menerjemahkan kitab ‘Thai Hak’ dan ‘Tiong Yong’ ke dalam bahasa Melayu dengan sempurna. Karena itu ia mengharap jika terjemahan kami sudah selesai dicetak, dia berharap agar dia dikirimi satu untuk diperiksa oleh perkumpulan Khong Kauw Hwe yang didirikannya.’
Tuan Yoe Tjai Siang yang membantu Tan Ging Tiong, dalam kata pengantar yang tertanggal 15 Januari 1900 menganjurkan agar para Huaqiao di Jawa juga mendirikan satu perkumpulan yang bertujuan mempelajari agama Khonghucu. Anjuran ini dapat dilihat dalam catatannya sebagai berikut : ‘ … Maka untuk dapat memperdalam agama Khonghucu sebaiknya didirikan sebuah organisasi lengkap dengan para pengurusnya. Semua orang yang ingin bergabung dalam organisasi ini harus dipandang sebagai orang yang sungguh-sungguh mempunyai keinginan untuk belajar.’
Para Huaqiao yang cukup terpelajar mulai menyadari bahwa kekacauan budaya yang terjadi ini adalah karena lemahnya agama yang dianut oleh para Huaqiao ini sendiri. Para Huaqiao ini merasa perlu adanya agama atau semacam pelajaran moral yang kokoh (seperti halnya agama Islam atau Kristen) agar dapat digunakan sebagai pedoman pelatihan batin sekaligus memperbaiki kehidupan sosial dan sebagainya. Diantara orang-orang yang memiliki kesamaan pemikiran ini antara lain :
Phoa Keng Hek
Lie Hin Liam
Lie Kim Hok
Khoe A Fan
Khouw Kim An
Khoe Siauw Eng
Khouw Lam Tjiang dan lain-lain.
Mereka berunding sepakat akan mendirikan satu perkumpulan yang diharapkan bisa menjadi pusat dari segala gerakan pembaharuan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dan perbaikan terhadap adat istiadat bangsa Tionghoa yang selama ini dijalankan para Huaqiao Indonesia secara salah kaprah.
Perkumpulan inilah yang kemudian diberi nama Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Awalnya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) mempunyai tujuan utama untuk menyiarkan ajaran agama Khonghucu !
Awalnya THHK bertujuan memperbaiki adat istiadat yang dijalankan para Huaqiao dengan menjadikan agama Khonghucu sebagai dasarnya. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, Phoa Keng Hek dan beberapa orang anggota THHK yang lain juga menggunakan sekolah-sekolah THHK ini sebagai alat untuk mendesak pemerintah Belanda agar menaruh perhatian terhadap pendidikan bagi para Huaqiao yang mana pada masa itu tidak dipedulikan sama sekali oleh pemerintah penjajah ini.
Phoa Keng Hek
Lie Hin Liam
Lie Kim Hok
Khoe A Fan
Khouw Kim An
Khoe Siauw Eng
Khouw Lam Tjiang dan lain-lain.
Mereka berunding sepakat akan mendirikan satu perkumpulan yang diharapkan bisa menjadi pusat dari segala gerakan pembaharuan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dan perbaikan terhadap adat istiadat bangsa Tionghoa yang selama ini dijalankan para Huaqiao Indonesia secara salah kaprah.
Perkumpulan inilah yang kemudian diberi nama Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Awalnya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) mempunyai tujuan utama untuk menyiarkan ajaran agama Khonghucu !
Awalnya THHK bertujuan memperbaiki adat istiadat yang dijalankan para Huaqiao dengan menjadikan agama Khonghucu sebagai dasarnya. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, Phoa Keng Hek dan beberapa orang anggota THHK yang lain juga menggunakan sekolah-sekolah THHK ini sebagai alat untuk mendesak pemerintah Belanda agar menaruh perhatian terhadap pendidikan bagi para Huaqiao yang mana pada masa itu tidak dipedulikan sama sekali oleh pemerintah penjajah ini.
Sebelum kita membahas THHK lebih jauh. Ada yang perlu digarisbawahi tentang peran penting THHK (yang didirikan berdasarkan agama KHC ini) dan jasanya bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Tak lama setelah THHK berdiri di Batavia (sekarang Jakarta) yang segera diikuti oleh cabang-cabang THHK di pelbagai kota, perubahan ‘besar’ mulai nampak pada kalangan kaum Huaqiao. ‘Besar’ disini bersifat relatif, karena para Huaqiao tidak serta merta mengalami perubahan nasib 180 derajat, tetapi setidaknya mulai muncul kesadaran untuk memperbaiki keadaan hidupnya terutama melalui bidang pendidikan, bidang yang merupakan titik berat agama Khonghucu.
Sekolah-sekolah yang didirikan THHK tidak bisa dikatakan bermutu internasional seperti halnya SBI jaman sekarang, tetapi setidaknya kehadiran sekolah-sekolah THHK itu pada akhirnya berhasil ‘memaksa’ pemerintah Kolonialis Belanda untuk mendirikan sekolah HCS bagi para Huaqiao agar mereka tidak semakin ‘anti-pemerintah (Kolonialis)’. Berdirinya HCS dengan segera disusul pula dengan berdirinya HIS, sekolah untuk kaum Pribumi sebagai tandingan dari HCS.
Harus dicamkan bahwa berdirinya HIS ini bukan bertujuan untuk memajukan kaum pribumi melainkan kelanjutan dari siasat ‘adu domba’ dimana Pemerintah Kolonialis Belanda ingin menunjukkan bahwa mereka tetap lebih ‘concern’ pada kaum Pribumi ketimbang para Huaqiao yang telah dibangunkan HCS.
Bahkan THHK, dengan meminjam wibawa Kang Youwei yang datang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1903, telah mengumpulkan para ‘perkumpulan/kongsi rahasia’ para Huaqiao yang selama ini sering melakukan premanisme, tawuran, perkelahian antar sesama kaum untuk datang mendengarkan khotbah dari Tokoh Agama Khonghucu Tiongkok ini. Kwee Tek Hoay mencatat demikian :
Demikianlah pada suatu hari, para pengurus dari sekian banyak perkumpulan telah diundang datang untuk mendengarkan pidato dan nasehat dari Kang Youwei di gedung THHK. Orang-orang yang datang untuk mendengarkan pidato cendekiawan besar itu begitu banyak jumlahnya sehingga gedung THHK yang luas itu menjadi penuh sesak dan banyak pula yang tidak kebagian tempat, tidak bisa masuk ke dalam. Saking penuhnya tempat itu sehingga kaca-kaca jendela ada yang pecah karena orang-orang itu saling berdesak-desakan untuk bisa melihat langsung Kang Youwei.
Adapun hasil dari pertemuan akbar ini sangat memuaskan karena sejak itu antara pelbagai perkumpulan di Batavia tidak pernah terdengar saling bermusuhan apalagi sampai berkelahi, saling kepruk dan saling bacok seperti yang masih terjadi di Semarang dan tempat-tempat lain. Begitu hebatnya pengaruh Kang Youwei sehingga gerakan para triad ini seakan-akan langsung musnah dan baru beberapa tahun terakhir kembali muncul kembali walaupun sudah tidak sebengis dan seberbahaya seperti sebelum Kang Youwei datang.
Tak lama setelah THHK berdiri di Batavia (sekarang Jakarta) yang segera diikuti oleh cabang-cabang THHK di pelbagai kota, perubahan ‘besar’ mulai nampak pada kalangan kaum Huaqiao. ‘Besar’ disini bersifat relatif, karena para Huaqiao tidak serta merta mengalami perubahan nasib 180 derajat, tetapi setidaknya mulai muncul kesadaran untuk memperbaiki keadaan hidupnya terutama melalui bidang pendidikan, bidang yang merupakan titik berat agama Khonghucu.
Sekolah-sekolah yang didirikan THHK tidak bisa dikatakan bermutu internasional seperti halnya SBI jaman sekarang, tetapi setidaknya kehadiran sekolah-sekolah THHK itu pada akhirnya berhasil ‘memaksa’ pemerintah Kolonialis Belanda untuk mendirikan sekolah HCS bagi para Huaqiao agar mereka tidak semakin ‘anti-pemerintah (Kolonialis)’. Berdirinya HCS dengan segera disusul pula dengan berdirinya HIS, sekolah untuk kaum Pribumi sebagai tandingan dari HCS.
Harus dicamkan bahwa berdirinya HIS ini bukan bertujuan untuk memajukan kaum pribumi melainkan kelanjutan dari siasat ‘adu domba’ dimana Pemerintah Kolonialis Belanda ingin menunjukkan bahwa mereka tetap lebih ‘concern’ pada kaum Pribumi ketimbang para Huaqiao yang telah dibangunkan HCS.
Bahkan THHK, dengan meminjam wibawa Kang Youwei yang datang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1903, telah mengumpulkan para ‘perkumpulan/kongsi rahasia’ para Huaqiao yang selama ini sering melakukan premanisme, tawuran, perkelahian antar sesama kaum untuk datang mendengarkan khotbah dari Tokoh Agama Khonghucu Tiongkok ini. Kwee Tek Hoay mencatat demikian :
Demikianlah pada suatu hari, para pengurus dari sekian banyak perkumpulan telah diundang datang untuk mendengarkan pidato dan nasehat dari Kang Youwei di gedung THHK. Orang-orang yang datang untuk mendengarkan pidato cendekiawan besar itu begitu banyak jumlahnya sehingga gedung THHK yang luas itu menjadi penuh sesak dan banyak pula yang tidak kebagian tempat, tidak bisa masuk ke dalam. Saking penuhnya tempat itu sehingga kaca-kaca jendela ada yang pecah karena orang-orang itu saling berdesak-desakan untuk bisa melihat langsung Kang Youwei.
Adapun hasil dari pertemuan akbar ini sangat memuaskan karena sejak itu antara pelbagai perkumpulan di Batavia tidak pernah terdengar saling bermusuhan apalagi sampai berkelahi, saling kepruk dan saling bacok seperti yang masih terjadi di Semarang dan tempat-tempat lain. Begitu hebatnya pengaruh Kang Youwei sehingga gerakan para triad ini seakan-akan langsung musnah dan baru beberapa tahun terakhir kembali muncul kembali walaupun sudah tidak sebengis dan seberbahaya seperti sebelum Kang Youwei datang.
Jika gerakan THHK itu tidak cukup ‘besar’, mengapakah dr Soetomo sampai menirunya dan lalu mendirikan Perkumpulan Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 ? Dalam Buku ‘Riwayat 40 Taon THHK Batavia’ disebutkan : ‘Tahun 1910, President Boedi Oetomo minta hadlirken vergadering’.
Tak apalah jika THHK tidak disebut sebagai ‘Organisasi Modern Pertama di Indonesia’, tapi apakah peran THHK (terutama peran Agama KHC sebagai dasarnya) untuk memicu ‘Kebangkitan Nasional’ Indonesia bisa dilupakan begitu saja ?
Presiden Soekarno, founding-father Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah lulusan HIS dan saya yakin beliau tahu benar akan jasa-jasa Agama KHC bagi bangsa Indonesia ini. Bahkan dalam pidato beliau juga kadang mengutip sabda-sabda Nabi Kong Zi. Jadi jika Peraturan Pemerintah No 1/Pnps/1965 menyebutkan Agama Khonghucu sebagai salah satu dari 6 agama di Indonesia, apakah itu mengherankan mengingat jasanya bagi bangsa Indonesia ?
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa kakeknya berjasa ikut berjuang merebut kemerdekaan, ayahnya berjasa mempertahankan kemerdekaan sedang jasanya sendiri yang dibanggakan adalah membela umat Khonghucu yang ‘tanpa alasan jelas’ dipersulit oleh rezim Orde Baru !
Tak apalah jika THHK tidak disebut sebagai ‘Organisasi Modern Pertama di Indonesia’, tapi apakah peran THHK (terutama peran Agama KHC sebagai dasarnya) untuk memicu ‘Kebangkitan Nasional’ Indonesia bisa dilupakan begitu saja ?
Presiden Soekarno, founding-father Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah lulusan HIS dan saya yakin beliau tahu benar akan jasa-jasa Agama KHC bagi bangsa Indonesia ini. Bahkan dalam pidato beliau juga kadang mengutip sabda-sabda Nabi Kong Zi. Jadi jika Peraturan Pemerintah No 1/Pnps/1965 menyebutkan Agama Khonghucu sebagai salah satu dari 6 agama di Indonesia, apakah itu mengherankan mengingat jasanya bagi bangsa Indonesia ?
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa kakeknya berjasa ikut berjuang merebut kemerdekaan, ayahnya berjasa mempertahankan kemerdekaan sedang jasanya sendiri yang dibanggakan adalah membela umat Khonghucu yang ‘tanpa alasan jelas’ dipersulit oleh rezim Orde Baru !
Jadi Berbanggalah kalian para Umat Agama Khonghucu ! Jadikan bulan Kebangkitan Nasional (bulan Mei) ini sebagai bulan Kebangkitan Umat Khonghucu di Indonesia. Teruslah memacu diri !
‘Jika suatu hari dapat memperbaharui diri, berusahalah agar tetap baharu untuk selama-lamanya !’
‘Jika suatu hari dapat memperbaharui diri, berusahalah agar tetap baharu untuk selama-lamanya !’
No comments:
Post a Comment